GovernmentInformationsNews

Apakah Setiap Perjanjian Harus Dibuat di Hadapan Notaris?

Salah satu asumsi yang berkembang di masyarakat terkait pembuatan perjanjian adalah perjanjian harus dibuat dan/atau dibuatkan dalam bentuk akta notaris agar perjanjian tersebut sah secara hukum. Asumsi tersebut tidaklah benar. Suatu perjanjian tetap sah berlaku meski tidak dibuat di hadapan notaris. Hal ini merujuk pada ketentuan pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menjelaskan syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
(1) Ada kesepakatan dari para pihak;
(2) Para pihak yang terikat cakap secara hukum;
(3) Tentang suatu hal tertentu;
(4) Menyangkut sebab yang tidak dilarang

Dalam hal ini, perjanjian yang dibuat dan ditandatangani para pihak tanpa melibatkan notaris atau pejabat umum lainnya disebut sebagai Perjanjian Bawah Tangan. Sedangkan suatu perjanjian yang dibuat di hadapan Notaris, disebut sebagai Perjanjian Notariil atau secara garis besar disebut sebagai Akta Otentik.

Akta Otentik adalah suatu akta yang dibuat berdasarkan ketentuan undang-undang oleh pejabat umum yang berwenang, dalam hal ini notaris dan dibuat di tempat kedudukan pejabat umum tersebut. (Pasal 1868 KUHPerdata).

Hal yang membedakan antara Perjanjian Bawah Tangan dengan Perjanjian Notariil terletak pada kekuatan pembuktian perjanjian tersebut di hadapan pengadilan apabila pada suatu waktu terjadi sengketa.

Suatu akta/perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris memiliki tingkat pembuktian yang sempurna sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata: “Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.”

Pembuktian yang sempurna di sini bermakna:
(1) Tidak dapat disangkal keberadaannya. Hal ini dikarenakan perjanjian tersebut dibuat oleh Notaris;
(2) Tidak dapat disangkal isinya, hal ini dikarenakan Notaris telah memastikan bahwa isi para pihak dalam perjanjian memahami isi dari perjanjian dengan cara membacakannya di hadapan para pihak dan memastikan bahwa tanda tangan tersebut sesuai dengan aslinya.

Dengan demikian, apabila suatu Perjanjian Notariil diajukan sebagai alat bukti di pengadilan, maka perjanjian tersebut menjadi alat bukti yang tidak dapat disangkal oleh para pihak. Hakim pun harus mempercayai alat bukti tersebut sah. Pengecualian dalam hal ini adalah, apabila pihak lawan atau terdapat bukti lain yang menyatakan sebaliknya.

Lalu, bagaimana status pembuktian untuk Perjanjian Bawah Tangan? Perjanjian Bawah Tangan juga dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1875 KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya …………….. bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik….”.
Hal tersebut bermakna, Perjanjian Bawah Tangan hanya dapat menjadi bukti yang sempurna hanya apabila “diakui oleh para pihak” dalam perjanjian. Apabila salah satu pihak menyangkal keberadaan Perjanjian Bawah Tangan tersebut, maka hakim diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran perjanjian tersebut di muka pengadilan (1877 KUHperdata) dan mengajukan bukti-bukti pendukung lainnya.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian tidak harus dibuat di hadapan notaris (kecuali apabila berdasarkan ketentuan undang-undang perjanjian tersebut wajib dibuat di hadapan Notaris). Adapun pertimbangan untuk melibatkan notaris dalam pembuatan perjanjian adalah untuk memperkecil risiko di kemudian hari apabila terdapat sengketa terkait dan/atau melibatkan perjanjian tersebut.
Author: Lita Paromita Siregar

Sumber: https://smartlegal.id/smarticle/2019/02/12/apakah-setiap-perjanjian-harus-dibuat-di-hadapan-notaris/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *